Kaliyoso Jogopaten dalam Perspektif Historis
Sejarah Kaliyoso Jogopaten
Pada kurun waktu dua setengah abad silam, Dusun Kaliyoso yang terletak kurang lebih 12 km sebelah utara kota Solo itu bernama “Alas Jogopaten”. Dari beberapa sumber, sejarah Kaliyoso dimulai dari seorang bernama Bagus Turmudi yang sejak kecil ikut kakeknya bernama Kyai Abdul Djalal. Bagus Turmudi ini di kemudian hari terkenal dengan nama Kyai Abdul Djalal 1.
Setelah umurnya beranjak dewasa, Bagus Turmudi terus memperdalam ilmu agamanya ke beberapa pesantren, diantaranya ke pesantren daerah Surabaya, Semarang, dan akhirnya ke Pesantren Kyai Mojo, Baderan, seorang Kyai yang juga merupakan penasehat Pangeran Diponegoro. Di Pesantren itu pula beliau diambil menantu oleh salah seorang gurunya yang bernama Kyai Jumal Korib.
Pada perjalanan selanjutnya, untuk menyebarluaskan ilmu yang telah dipelajarinya, Ia diperintahkan oleh Guru yang sekaligus mertuanya untuk pergi ke suatu tempat di sebelah utara Surakarta dengan disertai rombongan beberapa teman.
Perjalanan rombongan mulai menyusuri Bengawan Solo terus ke arah timur, sesampai dipertemuan Kali Cemoro dengan Bengawan Solo kemudian perjalanan diteruskan ke arah barat menyusuri Kali Cemoro. Sesampailah di suatu tempat yang bernama “Watu Soye”, Kyai Abdul Djalal 1 beserta rombongan berdiam beberapa lamanya disana. Dan konon, di atas Watu Soye atau Watu Suci dengan ukuran sangat besar yang terletak di tengah-tengah Kali Cemoro itu (sampai sekarang masih dapat disaksikan keberadaannya dengan bekas tapak kaki Kyai Abdul Djalal 1) Beliau sering melakukan Sholat dan Munajat kepada Allah SWT.
![]() |
Watu Soye |
Ketika bermunajat kepada Allah swt, Beliau mendapat ilham agar melanjutkan perjalanan kesuatu tempat yang bernama “Grasak”. Setelah meninggalkan Watu Soye menuju barat, akhirnya Kyai Abdul Djalal 1 mendapatkan ilham dari Allah, bahwa di situlah tempat sebenarnya yang dituju (sebelah selatan dari Masjid Kaliyoso Jogopaten sekarang).
Ditempat itu beliau mulai melakukan sholat, puasa dan amalan-amalan lainya dengan harapan agar dalam membuka Alas Grasak dapat dilakukan dengan mudah dan selamat atas pertolongan Allah. Karena, konon katanya, di dalam Alas Grasak inilah pusatnya para jin dan makhluk halus lainya, sehingga “Jogopaten” itupun menurut cerita berasal dari kata “Jogo Pati” atau berjaga-jaga untuk bersedia mati ketika memasuki hutan tersebut.
Setelah berhasil menerobos kedalam hutan dan membersihkannya, yang dilakukan oleh beliau pertama kali adalah membangun sebuah rumah, disusul dengan mendirikan sebuah surau (langgar) dan tempat mengajar agama Islam (Pondok Pesantren). Lambat laun tempat itu menjadi ramai dengan kehadiran orang-orang yang ingin mencari ilmu. Disamping itu, beberapa orang keluarga Kyai Abdul Djalal 1 dan juga dari keluarga pengikutnya menyusul pula pindah ke tempat itu.
Asal Mula Nama “Kaliyoso”
Pada sekitar tahun 1788 M, pada saat Surakarta Hadiningrat diperintah oleh Paku Buwana (PB) IV yang dikenal dengan sebutan Sinuhun Bagus, Sang Permaisuri Raja yang bertahtakan di Karaton Surakarta Hadiningrat itu sedang mengandung dan ngidam daging kijang. Untuk menuruti keinginan sang Permaisuri, PB IV beserta beberapa pejabat keraton pergi berburu ke Hutan Krendowahono yang terletak di sebelah selatan Hutan Jogopaten. Namun sayang, belum sempat mereka mendapatkan buruan kijang, secara gaib tiba-tiba saja PB IV hilang tanpa bekas, sehingga para pengikutnya menjadi gusar semua. Berhari-hari mereka mencari PB IV ke segenap penjuru hutan itu, namun sia-sia belaka. Sehingga pada suatu hari ada seorang penduduk disitu memberi petunjuk, bahwa diutara sungai ada seorang Kyai yang mungkin dapat dimintai pertolongannya untuk menemukan PB IV yang telah hilang.
Syahdan, setelah kyai yang tidak lain adalah Kyai Abdul Djalal 1 tadi dapat ditemui para pejabat keraton, beliau menyanggupi untuk membantu, akan tetapi bukan beliau sendiri yang akan mencari PB IV, tugas yang sangat berat itu dipercayakan pada seorang keponakannya yang bernama Bagus Murtojo (baca: Murtolo/Murtadlo). Bagus Murtojo atau lebih dikenal sekarang dengan nama Kyai Muhammad Qorib (makam di selatan Kali Cemoro) dapat menemukan sinuhun PB IV dalam waktu yang sangat singkat yang hingga pada akhirnya dapat meninggalkan tempat yang angker itu dan pulang kembali ke Karaton Surakarta.
Pada suatu ketika, PB IV menemui Kyai Abdul Djalal 1 di kediamannya guna menyampaikan rasa terima kasih atas bantuan yang pernah dilakukan dalam usaha menemukan kembali dirinya. Pada saat itulah PB IV dihadapan Kyai Abdul Djalal 1 terlontar kata-katanya,
“Tempat ini sekarang saya namai Kaliyoso”.
Demikianlah asal mula nama Kaliyoso, sedang apa maksud dan arti sebenarnya, hingga sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Disamping memberikan nama Kaliyoso, PB IV juga memberikan tanah perdikan secukupnya untuk tempat mengembangkan ajaran Agama Islam. Beliau juga berkenan memberikan kenang-kenangan berupa sebuah mimbar dan pintu masjid serta benda-benda pusaka keraton berupa tombak dan keris, salah satu diantaranya adalah tombak “Kyai Ronda”. Kesemuanya itu dapat disaksikan keberadaannya sampai sekarang di Masjid Jami’ Kaliyoso Jogopaten.
![]() |
Foto Mimbar dan Pintu Tengah |
Adapun Bagus Murtojo / Kyai Muhammad Qorib sendiri akhinrya diakui sebagai saudara angkat PB IV. Setelah Kyai Abdul Djalal 1 wafat, kedudukan sebagai pemimpin agama di Kaliyoso digantikan berturut-turut oleh Kyai Abdul Djalal 2, 3, dan 4 serta seterusnya serta pada anak turun Kyai Abdul Djalal meskipun namanya tidak nunggak semi dengan Kyai Abdul Djalal, guna mempertahankan kelangsungan kegiatan dakwah dan pendidikan agama di Kaliyoso, dibentuklah Yayasan Umat Islam Kaliyoso atau YAUMIKA. (AM)
Sumber: Buku Silsilah Kaliyoso
0 Response to "Kaliyoso Jogopaten dalam Perspektif Historis"
Posting Komentar